Jumat, 01 Februari 2013

‘Aliran Perjalanan’, Spiritualitas Kebangsaan dari Tatar Sunda


Begitu banyak sumber daya kultural dinegeri ini yang secara esensial mengandung spirit kebangsaan dan kemanusiaan, namun karena berbagai faktor seolah menjadi hilang ‘ditelan’ pusaran sejarah. Tak dapat dipungkiri, imperialisme dan kolonialisme selama ratusan tahun atas nusantara tercinta menyebabkan bangsa ini kehilangan jati dirinya dan tidak berkepribadian dalam budaya. Salah satu sumber daya kultural yang seolah terlupakan dalam peradaban nusantara kini adalah suatu ajaran yang berbasiskan pada agama warisan leluhur (karuhun) masyarakat Sunda atau Sunda Wiwitan. Kini, ajaran Sunda Wiwitan berkembang dalam berbagai varian, meskipun tetap bersumber dari substansi yang sama. Aliran Kepercayaan Perjalanan, adalah salah satu varian dari agama Sunda Wiwitan di masa sekarang.

Aliran Perjalanan muncul pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta, Subang. Ajaran ini bersumber dari pemikiran Mei Kartawinata. Beliau mengagas ajaran Perjalanan sebagai hasil dari kontemplasinya yang mendalam terhadap situasi alam, khususnya air. Dalam mengembangkan ajarannya, Kartawinata dibantu oleh dua sahabatnya, Sumitra dan Rasyid.
Nama ‘Perjalanan’ yang digunakan oleh Mei Kartawinata memang mengandung makna filosofis. Hal ini berdasarkan pada pengamatan beliau terhadap ‘perjalanan’ air sungai Cileuleuy yang mengalir menuju hilir (lautan). Dalam perjalanan tersebut, aliran air itu telah banyak mendatangkan manfaat  bagi kehidupan para penghuni alam seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Esensi inilah yang ingin diadopsi oleh Mei Kartawinata dalam mengembangkan ajarannya, bahwa kita sebagai manusia haruslah memberikan manfaat bagi alam sekitar kita selama ‘perjalanan’ manusia ‘mengaliri’ dinamika kehidupan. Kenyataannya, banyak lagi istilah yang digunakan oleh berbagai pihak untuk menamakan ajaran Kartawinata ini, seperti agama Buhun, Agama Pancasila serta Agama Kuring. Sebagai catatan, istilah agama Kuring lebih banyak diartikan sebagai suatu stigma dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ajaran Kartawinata.

Lalu siapakah sebenarnya Mei Kartawinata?

Dalam buku Teologi Kebatinan Sunda karya peneliti UIN Sunan Gunung Djati, Abdul Rozak, disebutkan bahwa tokoh yang dikenal sebagai spiritualis ini lahir di Bandung pada tanggal 1 Mei 1898. Konon beliau masih keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi dari Pajajaran (garis ibu). Kondisi masyarakat Sunda dan nusantara secara umum yang terkurung dalam alam penjajahan Eropa ketika itu menimbulkan keprihatinan yang mendalam dalam diri Mei Kartawinata. Keprihatinan itulah yang memicu keinginan beliau untuk terjun ke dunia pergerakan nasional demi mencapai kemerdekaan.

Menurut para penganut ajaran Mei Kartawinata, dimasa pergerakan nasional beliau sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang berideologi Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu sumber, sang spiritualis adalah kawan diskusi Bung karno mengenai berbagai hal menyangkut politik dan ideologi, termasuk mengenai ideologi Indonesia bila merdeka kelak. Kedekatan dengan kalangan Marhaenis itulah yang mendorong beliau bersama beberapa tokoh lainnya seperti J.B.Assa mendirikan Partai Persatuan Rakyat Marhaenis Indonesia (Partai Permai) pada tahun 1945. Nama Partai ini tentu tidak asing bagi mereka yang mengalami dinamika politik diera demokrasi liberal tahun 1950-an. Pada Pemilu Konstituante 1955, Partai Permai berhasil mendapatkan dua kursi dalam lembaga itu.

Selain berkecimpung dalam pergerakan politik, seperti yang telah dibahas sebelumnya, Kartawinata juga mengembangkan konsepsi spiritual yang berbasis ajaran Sunda Wiwitan, yang ia namakan aliran Perjalanan. Aliran ini berintikan pada tiga hal, yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berbasiskan persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation building. Sebagai pedoman bagi para pengikutnya, Kartawinata menulis beberapa buku yang berisi hasil pemikirannya mengenai hakekat kehidupan manusia di dunia. Salah satu buku yang terpenting adalah Budi Daya. Buku ini seringkali dianggap sebagai kitab suci bagi pengikut aliran Perjalanan oleh banyak pihak, meskipun para penganut ajaran Kartawinata sendiri tidak menganggapnya demikian.

Dalam buku Budi Daya, disebutkan makna dari masing-masing sila dalam Pancasila. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai “daya kaula”, sila Kemanusiaan bermakna “badan kaula”, sila Kebangsaan maknanya “bakat kaula”,  sila Kedaulatan Rakyat berarti “darah kaula”, serta sila Keadilan Sosial memiliki makna “kacukupan kaula”. Jadi dalam arti lain, peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai pemberi kekuatan dan energi bagi rakyat dalam mencapai kesejahteraan bersama seluruh rakyat (kacukupan kaula).

Menurut ajaran Kartawinata, kekuatan untuk mencapai kesejahteraan bersama tersebut tiada lain adalah kesatu paduan seluruh insan masyarakat atau masyarakat gotong royong. Hal ini serupa dengan konsepsi Bung Karno mengenai sosialisme Indonesia. Tampak adanya benang merah antara Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan perspektif kebangsaan dalam ajaran Kartawinata.

Bila ditelaah, ajaran Kartawinata memang sangat sosialistis. Dalam ajaran tersebut dianjurkan agar manusia menempuh cara hidup sosialistis yang tidak individualis. Kartawinata juga mengintrodusir bentuk masyarakat sosialis yang setiap anggota masyarakatnya harus dapat menyatukan kepentingan dirinya sebagai individu dalam kepentingan masyarakat secara luas. Di sisi lain, kepentingan dan potensi individu akan dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Inilah yang menjadi artikulasi dari makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ketika setiap insan menjadi penggerak sistem/bangunan kemasyarakatan secara aktif dan kreatif bagaikan darah yang menjadi penggerak atau pemberi daya bagi manusia secara jasmaniah.

Karakter sosialis dalam ajaran Kartawinata juga terlihat dalam Dasa Wasita atau sepuluh wangsit yang menjadi sumber ajaran ini. Pada wangsit kesepuluh ditegaskan bahwa seorang insan harus bergerak untuk kepentingan bersama, dengan cara membantu mereka yang kesulitan agar berkurang penderitaannya. Hal ini perlu dilakukan agar kelak tercapai masyarakat humanis yang merdeka dan gandrung kebenaran.

Di masa kini, komunitas pengikut aliran Perjalanan yang berbasis di daerah Ciparay, Bandung masih tetap teguh menganut ajaran Mei Kartawinata. Meskipun berbagai hambatan berupa diskriminasi dari aparatur negara dan stigmatisasi dari kalangan fundamentalis agama kerap mereka terima.
Sejatinya, aliran Perjalanan yang berlandaskan spriritualitas kebangsaan dapat menjadi energi kultural bagi peradaban bangsa  yang kini tengah terancam penjajahan gaya baru. Mengingat realitas kekinian, ketika para pemegang kendali pemerintahan di republik ini justru abai dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, hingga berakibat pada terjerumusnya bangsa ini menjadi bangsa kuli dalam pusaran arus globalisasi.



1 komentar:

  1. KLO BLH SY TAU MUNGKIN SDR ANAK DR KEL BSR SIAPA DR MANA SEJARAH MEI KARTAWINATA DI PEROLEH

    BalasHapus