Jumat, 01 Februari 2013

‘Aliran Perjalanan’, Spiritualitas Kebangsaan dari Tatar Sunda


Begitu banyak sumber daya kultural dinegeri ini yang secara esensial mengandung spirit kebangsaan dan kemanusiaan, namun karena berbagai faktor seolah menjadi hilang ‘ditelan’ pusaran sejarah. Tak dapat dipungkiri, imperialisme dan kolonialisme selama ratusan tahun atas nusantara tercinta menyebabkan bangsa ini kehilangan jati dirinya dan tidak berkepribadian dalam budaya. Salah satu sumber daya kultural yang seolah terlupakan dalam peradaban nusantara kini adalah suatu ajaran yang berbasiskan pada agama warisan leluhur (karuhun) masyarakat Sunda atau Sunda Wiwitan. Kini, ajaran Sunda Wiwitan berkembang dalam berbagai varian, meskipun tetap bersumber dari substansi yang sama. Aliran Kepercayaan Perjalanan, adalah salah satu varian dari agama Sunda Wiwitan di masa sekarang.
Aliran Perjalanan muncul pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta, Subang. Ajaran ini bersumber dari pemikiran Mei Kartawinata. Beliau mengagas ajaran Perjalanan sebagai hasil dari kontemplasinya yang mendalam terhadap situasi alam, khususnya air. Dalam mengembangkan ajarannya, Kartawinata dibantu oleh dua sahabatnya, Sumitra dan Rasyid.
Nama ‘Perjalanan’ yang digunakan oleh Mei Kartawinata memang mengandung makna filosofis. Hal ini berdasarkan pada pengamatan beliau terhadap ‘perjalanan’ air sungai Cileuleuy yang mengalir menuju hilir (lautan). Dalam perjalanan tersebut, aliran air itu telah banyak mendatangkan manfaat  bagi kehidupan para penghuni alam seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Esensi inilah yang ingin diadopsi oleh Mei Kartawinata dalam mengembangkan ajarannya, bahwa kita sebagai manusia haruslah memberikan manfaat bagi alam sekitar kita selama ‘perjalanan’ manusia ‘mengaliri’ dinamika kehidupan. Kenyataannya, banyak lagi istilah yang digunakan oleh berbagai pihak untuk menamakan ajaran Kartawinata ini, seperti agama Buhun, Agama Pancasila serta Agama Kuring. Sebagai catatan, istilah agama Kuring lebih banyak diartikan sebagai suatu stigma dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ajaran Kartawinata.
Lalu siapakah sebenarnya Mei Kartawinata?
Dalam buku Teologi Kebatinan Sunda karya peneliti UIN Sunan Gunung Djati, Abdul Rozak, disebutkan bahwa tokoh yang dikenal sebagai spiritualis ini lahir di Bandung pada tanggal 1 Mei 1898. Konon beliau masih keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi dari Pajajaran (garis ibu). Kondisi masyarakat Sunda dan nusantara secara umum yang terkurung dalam alam penjajahan Eropa ketika itu menimbulkan keprihatinan yang mendalam dalam diri Mei Kartawinata. Keprihatinan itulah yang memicu keinginan beliau untuk terjun ke dunia pergerakan nasional demi mencapai kemerdekaan.
Menurut para penganut ajaran Mei Kartawinata, dimasa pergerakan nasional beliau sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang berideologi Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu sumber, sang spiritualis adalah kawan diskusi Bung karno mengenai berbagai hal menyangkut politik dan ideologi, termasuk mengenai ideologi Indonesia bila merdeka kelak. Kedekatan dengan kalangan Marhaenis itulah yang mendorong beliau bersama beberapa tokoh lainnya seperti J.B.Assa mendirikan Partai Persatuan Rakyat Marhaenis Indonesia (Partai Permai) pada tahun 1945. Nama Partai ini tentu tidak asing bagi mereka yang mengalami dinamika politik diera demokrasi liberal tahun 1950-an. Pada Pemilu Konstituante 1955, Partai Permai berhasil mendapatkan dua kursi dalam lembaga itu.
Selain berkecimpung dalam pergerakan politik, seperti yang telah dibahas sebelumnya, Kartawinata juga mengembangkan konsepsi spiritual yang berbasis ajaran Sunda Wiwitan, yang ia namakan aliran Perjalanan. Aliran ini berintikan pada tiga hal, yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berbasiskan persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation building. Sebagai pedoman bagi para pengikutnya, Kartawinata menulis beberapa buku yang berisi hasil pemikirannya mengenai hakekat kehidupan manusia di dunia. Salah satu buku yang terpenting adalah Budi Daya. Buku ini seringkali dianggap sebagai kitab suci bagi pengikut aliran Perjalanan oleh banyak pihak, meskipun para penganut ajaran Kartawinata sendiri tidak menganggapnya demikian.
Dalam buku Budi Daya, disebutkan makna dari masing-masing sila dalam Pancasila. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai “daya kaula”, sila Kemanusiaan bermakna “badan kaula”, sila Kebangsaan maknanya “bakat kaula”,  sila Kedaulatan Rakyat berarti “darah kaula”, serta sila Keadilan Sosial memiliki makna “kacukupan kaula”. Jadi dalam arti lain, peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai pemberi kekuatan dan energi bagi rakyat dalam mencapai kesejahteraan bersama seluruh rakyat (kacukupan kaula).
Menurut ajaran Kartawinata, kekuatan untuk mencapai kesejahteraan bersama tersebut tiada lain adalah kesatu paduan seluruh insan masyarakat atau masyarakat gotong royong. Hal ini serupa dengan konsepsi Bung Karno mengenai sosialisme Indonesia. Tampak adanya benang merah antara Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan perspektif kebangsaan dalam ajaran Kartawinata.
Bila ditelaah, ajaran Kartawinata memang sangat sosialistis. Dalam ajaran tersebut dianjurkan agar manusia menempuh cara hidup sosialistis yang tidak individualis. Kartawinata juga mengintrodusir bentuk masyarakat sosialis yang setiap anggota masyarakatnya harus dapat menyatukan kepentingan dirinya sebagai individu dalam kepentingan masyarakat secara luas. Di sisi lain, kepentingan dan potensi individu akan dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Inilah yang menjadi artikulasi dari makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ketika setiap insan menjadi penggerak sistem/bangunan kemasyarakatan secara aktif dan kreatif bagaikan darah yang menjadi penggerak atau pemberi daya bagi manusia secara jasmaniah.
Karakter sosialis dalam ajaran Kartawinata juga terlihat dalam Dasa Wasita atau sepuluh wangsit yang menjadi sumber ajaran ini. Pada wangsit kesepuluh ditegaskan bahwa seorang insan harus bergerak untuk kepentingan bersama, dengan cara membantu mereka yang kesulitan agar berkurang penderitaannya. Hal ini perlu dilakukan agar kelak tercapai masyarakat humanis yang merdeka dan gandrung kebenaran.
Di masa kini, komunitas pengikut aliran Perjalanan yang berbasis di daerah Ciparay, Bandung masih tetap teguh menganut ajaran Mei Kartawinata. Meskipun berbagai hambatan berupa diskriminasi dari aparatur negara dan stigmatisasi dari kalangan fundamentalis agama kerap mereka terima.
Sejatinya, aliran Perjalanan yang berlandaskan spriritualitas kebangsaan dapat menjadi energi kultural bagi peradaban bangsa  yang kini tengah terancam penjajahan gaya baru. Mengingat realitas kekinian, ketika para pemegang kendali pemerintahan di republik ini justru abai dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, hingga berakibat pada terjerumusnya bangsa ini menjadi bangsa kuli dalam pusaran arus globalisasi.

‘Aliran Perjalanan’, Spiritualitas Kebangsaan dari Tatar Sunda


Begitu banyak sumber daya kultural dinegeri ini yang secara esensial mengandung spirit kebangsaan dan kemanusiaan, namun karena berbagai faktor seolah menjadi hilang ‘ditelan’ pusaran sejarah. Tak dapat dipungkiri, imperialisme dan kolonialisme selama ratusan tahun atas nusantara tercinta menyebabkan bangsa ini kehilangan jati dirinya dan tidak berkepribadian dalam budaya. Salah satu sumber daya kultural yang seolah terlupakan dalam peradaban nusantara kini adalah suatu ajaran yang berbasiskan pada agama warisan leluhur (karuhun) masyarakat Sunda atau Sunda Wiwitan. Kini, ajaran Sunda Wiwitan berkembang dalam berbagai varian, meskipun tetap bersumber dari substansi yang sama. Aliran Kepercayaan Perjalanan, adalah salah satu varian dari agama Sunda Wiwitan di masa sekarang.

Aliran Perjalanan muncul pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta, Subang. Ajaran ini bersumber dari pemikiran Mei Kartawinata. Beliau mengagas ajaran Perjalanan sebagai hasil dari kontemplasinya yang mendalam terhadap situasi alam, khususnya air. Dalam mengembangkan ajarannya, Kartawinata dibantu oleh dua sahabatnya, Sumitra dan Rasyid.
Nama ‘Perjalanan’ yang digunakan oleh Mei Kartawinata memang mengandung makna filosofis. Hal ini berdasarkan pada pengamatan beliau terhadap ‘perjalanan’ air sungai Cileuleuy yang mengalir menuju hilir (lautan). Dalam perjalanan tersebut, aliran air itu telah banyak mendatangkan manfaat  bagi kehidupan para penghuni alam seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Esensi inilah yang ingin diadopsi oleh Mei Kartawinata dalam mengembangkan ajarannya, bahwa kita sebagai manusia haruslah memberikan manfaat bagi alam sekitar kita selama ‘perjalanan’ manusia ‘mengaliri’ dinamika kehidupan. Kenyataannya, banyak lagi istilah yang digunakan oleh berbagai pihak untuk menamakan ajaran Kartawinata ini, seperti agama Buhun, Agama Pancasila serta Agama Kuring. Sebagai catatan, istilah agama Kuring lebih banyak diartikan sebagai suatu stigma dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ajaran Kartawinata.

Lalu siapakah sebenarnya Mei Kartawinata?

Dalam buku Teologi Kebatinan Sunda karya peneliti UIN Sunan Gunung Djati, Abdul Rozak, disebutkan bahwa tokoh yang dikenal sebagai spiritualis ini lahir di Bandung pada tanggal 1 Mei 1898. Konon beliau masih keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi dari Pajajaran (garis ibu). Kondisi masyarakat Sunda dan nusantara secara umum yang terkurung dalam alam penjajahan Eropa ketika itu menimbulkan keprihatinan yang mendalam dalam diri Mei Kartawinata. Keprihatinan itulah yang memicu keinginan beliau untuk terjun ke dunia pergerakan nasional demi mencapai kemerdekaan.

Menurut para penganut ajaran Mei Kartawinata, dimasa pergerakan nasional beliau sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang berideologi Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu sumber, sang spiritualis adalah kawan diskusi Bung karno mengenai berbagai hal menyangkut politik dan ideologi, termasuk mengenai ideologi Indonesia bila merdeka kelak. Kedekatan dengan kalangan Marhaenis itulah yang mendorong beliau bersama beberapa tokoh lainnya seperti J.B.Assa mendirikan Partai Persatuan Rakyat Marhaenis Indonesia (Partai Permai) pada tahun 1945. Nama Partai ini tentu tidak asing bagi mereka yang mengalami dinamika politik diera demokrasi liberal tahun 1950-an. Pada Pemilu Konstituante 1955, Partai Permai berhasil mendapatkan dua kursi dalam lembaga itu.

Selain berkecimpung dalam pergerakan politik, seperti yang telah dibahas sebelumnya, Kartawinata juga mengembangkan konsepsi spiritual yang berbasis ajaran Sunda Wiwitan, yang ia namakan aliran Perjalanan. Aliran ini berintikan pada tiga hal, yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berbasiskan persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation building. Sebagai pedoman bagi para pengikutnya, Kartawinata menulis beberapa buku yang berisi hasil pemikirannya mengenai hakekat kehidupan manusia di dunia. Salah satu buku yang terpenting adalah Budi Daya. Buku ini seringkali dianggap sebagai kitab suci bagi pengikut aliran Perjalanan oleh banyak pihak, meskipun para penganut ajaran Kartawinata sendiri tidak menganggapnya demikian.

Dalam buku Budi Daya, disebutkan makna dari masing-masing sila dalam Pancasila. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai “daya kaula”, sila Kemanusiaan bermakna “badan kaula”, sila Kebangsaan maknanya “bakat kaula”,  sila Kedaulatan Rakyat berarti “darah kaula”, serta sila Keadilan Sosial memiliki makna “kacukupan kaula”. Jadi dalam arti lain, peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai pemberi kekuatan dan energi bagi rakyat dalam mencapai kesejahteraan bersama seluruh rakyat (kacukupan kaula).

Menurut ajaran Kartawinata, kekuatan untuk mencapai kesejahteraan bersama tersebut tiada lain adalah kesatu paduan seluruh insan masyarakat atau masyarakat gotong royong. Hal ini serupa dengan konsepsi Bung Karno mengenai sosialisme Indonesia. Tampak adanya benang merah antara Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan perspektif kebangsaan dalam ajaran Kartawinata.

Bila ditelaah, ajaran Kartawinata memang sangat sosialistis. Dalam ajaran tersebut dianjurkan agar manusia menempuh cara hidup sosialistis yang tidak individualis. Kartawinata juga mengintrodusir bentuk masyarakat sosialis yang setiap anggota masyarakatnya harus dapat menyatukan kepentingan dirinya sebagai individu dalam kepentingan masyarakat secara luas. Di sisi lain, kepentingan dan potensi individu akan dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Inilah yang menjadi artikulasi dari makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ketika setiap insan menjadi penggerak sistem/bangunan kemasyarakatan secara aktif dan kreatif bagaikan darah yang menjadi penggerak atau pemberi daya bagi manusia secara jasmaniah.

Karakter sosialis dalam ajaran Kartawinata juga terlihat dalam Dasa Wasita atau sepuluh wangsit yang menjadi sumber ajaran ini. Pada wangsit kesepuluh ditegaskan bahwa seorang insan harus bergerak untuk kepentingan bersama, dengan cara membantu mereka yang kesulitan agar berkurang penderitaannya. Hal ini perlu dilakukan agar kelak tercapai masyarakat humanis yang merdeka dan gandrung kebenaran.

Di masa kini, komunitas pengikut aliran Perjalanan yang berbasis di daerah Ciparay, Bandung masih tetap teguh menganut ajaran Mei Kartawinata. Meskipun berbagai hambatan berupa diskriminasi dari aparatur negara dan stigmatisasi dari kalangan fundamentalis agama kerap mereka terima.
Sejatinya, aliran Perjalanan yang berlandaskan spriritualitas kebangsaan dapat menjadi energi kultural bagi peradaban bangsa  yang kini tengah terancam penjajahan gaya baru. Mengingat realitas kekinian, ketika para pemegang kendali pemerintahan di republik ini justru abai dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, hingga berakibat pada terjerumusnya bangsa ini menjadi bangsa kuli dalam pusaran arus globalisasi.



Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda


Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung[1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan  yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.[2]
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.)   Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.)   Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.)   Ratu Sakti (1543-1551)
4.)   Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.)   Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran.Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Sampurasun..



[1] Kisah mengenai wangsit ini telah menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinular” dari generasi ke generasi dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita mengenai wangsit ini bermula.
[2] Sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di Kropak 630, semacam karya sastra Sunda berjenis pantun pada masa Prabu Jayadewata berkuasa. Seperti halnya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jayadewata juga mendapat gelar lain, yakni Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam  naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang.
[6] Janggawareng merupakan istilah  bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda.
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu Nilakendra amat lemah  dan tidak mampu membendung agresi Banten.



Sabtu, 29 Desember 2012

Keyakinan Cinta


Dekaplah sayangku dan pejamkan matamu

Izinkalah kukecup bibirmu


Yang indah dan mempesona

Lepaskan rindumu yang tersimpan dihatimu

Biarkan hasrat cinta kita

Bersatu 'tuk selamanya

Janganlah kau ragu akan cintaku

Yakinlah diriku milikmu selalu.

Pesan Buatmu Kasih

Di sini telah ku tulis
Berjuta-juta kesaksian
Tentang kita dan sketsa perjalanan
Namun cerita selalu tak pernah sempurna
Karena jarak terlalu jauh
'Tuk di tempuh oleh anganan kita
Dan angananku telah kutitipkan padamu
Agar rindu itu 'kan menyatu
Dalam kenyataan dan bukan khayalan
Serta angananku belaka
Nurani didinding hati hampir retak
Dekaplah aku yang erat
Agar kita tak terpisahkan
Hanya karena khayalan dan anganan

Adakah Kau Rasakan

Setiap mataku terpana padamu
Saat itu pula rasaku 'tak menentu

Detak nadiku ...
Goncangan dadaku ...
Menghanyutkan ketenangan kalbuku

Kadang kusentak diriku
Kutarik pandangan yang terpaku

Kusadarkan jiwaku yang menggebu
Dan kukurung dalam terali hatiku

Karena bimbang dan ragu
Seribu tanya yang masih menghalau
Adakah kau seperti aku?

RINDU

Saat kutapaki jalan itu 

Seakan kusadari ada dirimu 

Berjalan disampingku, Bisu ...


Saat kutatap langit biru 

Kubayangkan angan dan mimpiku

Untuk selalu bertemu denganmu


Saat kudengar sebuah lagu


Kuinginkan nada dan irama musikmu


Kau dendangkan hanya untukku


Saat kumasuki tidur malamku

Kumimpikan kau dan aku menyatu

lalu ingin kukatakan ;


" Kasih ... Aku Rindu ... "